HADZIHI FITNAH: Sebuah Gejala Faux Amis
Dalam ruang sidang pengadilan yang tengah mengadili Fakhri, tokoh sentral dalam Ayat-ayat Cinta (AAC), berulang kali terdengar teriakan hadirin, “Hazihi fitnah...hadizihi fitnah”. Ungkapan yang sama juga diucapkan oleh ibunya Fakhri ketika mendapat berita tentang penangkapan anaknya itu.
Film AAC, seperti yang dijelaskan secara gamblang oleh Hanung Bramantyo, sang sutradara, dalam blognya[2] sepenuhnya digarap di Indonesia, tepatnya di Jakarta dan Semarang -- kecuali beberapa adegan dibuat di India -- kendati setting kisahnya adalah Mesir. Impian Hanung untuk melakukan shooting di Kairo, kandaslah sudah karena keterbatasan biaya yang disediakan oleh produser. Namun, dengan kepiawaian Hanung dan tentunya segenap crew AAC, penonton tidak akan mengetahui kalau ruang sidang tempat Fakhri diadili itu ternyata ruang Gereja Imanuel Jakarta.
Wajah tampan Fedi Nuril, keanggunanan wajah Carissa Putri dan Rianti Cartwright mungkin cukup berhasil membantu mewujudkan tokoh Fakhri, Maria dan Aisyah. Celetukan bahasa Arab dialek Mesir yang sekali-kali terdengar adalah sangat wajar seperti itu karena mereka hanya beberapa hari saja kursus bahasa Arab. Namun, pemakaian kata fitnah yang berulangkali diucapkan dalam ruang sidang itu, bagi saya cukup “merisaukan”. Ini mengingatkan kepada artikel saya yang berjudul “Fitnah itu Lebih Kejam daripada Pembunuhan: Sebuah Gejala Faux Amis” yang dimuat di beberapa jurnal ilmiah dan pernah juga disampaikan sebagai kuliah umum dari Universitas Negeri Jakarta, pada tahun 2000.
Kata fitnah memang berasal dari bahasa Arab, tetapi maknanya dalam bahasa Indonesia sangat jauh berbeda dari makna asalnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitnah adalah, “perkataan bohong atau tanpa dasar kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang…” (Edisi Kedua, hlm 277). Lalu kita sering mendengar ungkapan, “Eh, jangan memfitnah dong, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan!”. Kata fitnah dalam bahasa Arab merupakan faux amis kata fitnah dalam bahasa Indonesia. Mengutip pendapat Vinay dan Darbelnet, Malone (1988:26) mengatakan bahwa istilah faux amis pertama kali diperkenalkan oleh Vuibert pada tahun 1928. Seorang pakar penerjemahan menjelaskan bahwa faux amis adalah, “…words or expressions which have the same form in two or more languages but convey different meanings” (Baker, 1992:25). Menurutnya, faux amis seringkali terjadi antara bahasa yang mempunyai hubungan kultural dan historis, seperti bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Tetapi sebetulnya bisa juga antara bahasa yang sama sekali tidak mempunyai hubungan, seperti bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan Rusia. Ketika ungkapan satu kata dipinjam oleh sebuah bahasa, kita tidak dapat memprediksikan atau mengontrol perkembangannya atau penambahan maknanya yang mungkin terjadi. Inilah mungkin yang terjadi terhadap perkataan fitnah yang telah mengandung makna yang berbeda dari makna aslinya.
Ungkapan “fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan” terilhami oleh terjemahan surah al-Baqarah ayat 191 “Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan”, dan surat al-Baqarah ayat 217 “Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan”. Dalam Al-Quran dan Terjemahannya, kata fitnah dalam kedua terjemahan tersebut masing-masing diberi catatan kaki. Kata fitnah dalam ayat 191, catatan kakinya berbunyi, “Fitnah (menimbulkan kekacauan), seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama”. Catatan kaki untuk kata fitnah dalam ayat 217 berbunyi, “Fitnah di sini artinya penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan Muslimin”. Sayangnya, kedua ayat ini sering dikutip oleh penceramah dan khatib Jumat ketika mereka membahas masalah fitnah dalam pengertian bahasa Indonesia. Padahal jelas bahwa pengertian fitnah dalam kedua ayat tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengertian fitnah seperti yang dijelaskan dalam KBBI.
Dengan demikian, ungkapan “Hazihi fitnah!” yang diungkapkan dalam ruang sidang yang mengadili Fakhri, jika yang dinginkan adalah terjemahan dari “Ini fitnah” adalah kurang pas. Alih-alih menggunakan kata fitnah, mungkin kata-kata seperti tuhmah, qadzaf atau iftira’ lebih mendekati pengertian kata fitnah dalam bahasa Indonesia. Setidaknya, penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang mengikuti rasa bahasa Arab sebenarnya akan menambah cita rasa suasana Cairo.
Jakarta, 8 Maret 2008.
Daftar bacaan:
Baker, Mona. 1992. In Other Worlds: A Coursebook on Translation. London: Routledge.
Malone, Joseph L. 1998. The Science of Linguistics in The Art of Translation. Albany State University of New York Press.
[2] (http://dearestmask.blogs.friendster.com/my_blog/2007/12/kisah_di_balik__1.html),
0 comments:
Post a Comment